Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Balik Meja Kerja

Di sebuah perusahaan yang terletak di pusat kota, Sinta, seorang wanita karier yang ambisius, selalu menghabiskan waktu berjam-jam di kantornya. Sebagai seorang manajer pemasaran yang sukses, dia dikenal dengan ketegasan dan ketelitiannya. Namun, di balik sikap profesional itu, ada satu hal yang tak bisa dia lupakan—sebuah senyuman sederhana dari seorang office boy bernama Dimas.

Dimas adalah seorang pria muda yang bekerja di perusahaan itu sejak setahun lalu. Sehari-hari, dia terlihat sibuk dengan tugas-tugasnya: menyapu lantai, membawa kopi, membersihkan meja, dan sesekali mengantar dokumen. Penampilannya sederhana, dengan seragam kantor yang selalu rapi, dan senyum yang hangat. Meski hanya seorang office boy, Dimas memiliki cara yang istimewa untuk membuat hari-hari Sinta terasa lebih ringan.

Pagi itu, seperti biasa, Dimas datang ke meja Sinta untuk mengantarkan kopi panas favoritnya. "Selamat pagi, Bu Sinta. Kopinya sudah siap," katanya sambil meletakkan cangkir di atas meja.

Sinta hanya mengangguk, memberi senyum singkat. "Terima kasih, Dimas," jawabnya, menatap layar komputer di depannya.

Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu. Dimas tidak segera pergi setelah meletakkan kopi. Dia berdiri sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu. Sinta, yang merasa aneh karena biasanya Dimas cepat-cepat kembali ke tugasnya, menoleh dan menatapnya.

"Ada yang bisa saya bantu, Dimas?" tanya Sinta, dengan nada yang agak lembut.

Dimas terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Bu Sinta, saya... saya ingin mengucapkan terima kasih. Selama ini, Anda selalu memperlakukan saya dengan baik. Rasanya seperti saya dihargai, meskipun pekerjaan saya hanya sebagai office boy."

Sinta terkejut mendengar kata-kata itu. Ia memang selalu mencoba memperlakukan semua orang dengan adil, tapi tidak menyangka kalau sikapnya itu bisa memberikan dampak sebesarnya pada Dimas.

"Setiap orang di sini penting, Dimas," jawab Sinta, sedikit tersenyum. "Tanpa kalian, pekerjaan kami tidak akan berjalan lancar."

Dimas tersenyum, dan untuk beberapa detik, matanya bertemu dengan mata Sinta. Ada kehangatan di dalam pandangan mereka yang membuat suasana di sekitar mereka seakan melambat. Lalu, Dimas membungkuk sedikit dan pergi, meninggalkan Sinta yang masih terdiam.

Hari demi hari berlalu, dan perasaan yang tidak terucapkan itu semakin tumbuh. Sinta mulai menyadari bahwa ia menunggu momen di mana Dimas datang mengantarkan kopi, bukan hanya karena kopi itu, tetapi karena kehadiran Dimas yang membuat hatinya terasa lebih ringan. Setiap senyuman Dimas, setiap tatapan singkat yang mereka bagi, membuatnya merasa nyaman.

Suatu sore, setelah hari kerja yang melelahkan, Sinta terpaksa tinggal lebih lama di kantor untuk menyelesaikan laporan penting. Dimas, seperti biasa, mengantarkan kopi sore untuknya. Ketika ia datang, Sinta menatapnya dengan tatapan yang lebih lama dari biasanya.

"Dimas, bagaimana jika kita... minum kopi bersama setelah jam kerja?" tanya Sinta, suara sedikit ragu.

Dimas terkejut, wajahnya merona. "Maksud Bu Sinta... kita nongkrong?"

Sinta tertawa kecil, "Iya, nongkrong. Tanpa ada urusan kerja."

Dimas mengangguk, meskipun sedikit bingung dengan ajakan itu. Mereka berdua akhirnya pergi ke kafe dekat kantor, berbicara tanpa beban, saling mengenal lebih jauh. Sinta merasa nyaman dengan Dimas, sesuatu yang jarang dia rasakan dengan rekan-rekannya di kantor.

Waktu berlalu, dan pertemuan-pertemuan itu semakin sering. Mereka berbagi tawa, cerita hidup, dan harapan. Sinta merasa dunia kerjanya mulai berbeda, lebih berwarna, dengan Dimas di sisinya. Meski status mereka berbeda, Sinta merasakan kedekatan yang sulit dijelaskan.

Suatu malam, setelah makan malam bersama di sebuah restoran kecil, Dimas akhirnya mengungkapkan perasaannya. "Bu Sinta, saya... saya suka kamu. Saya tahu kita berasal dari dunia yang berbeda, tapi setiap detik bersama kamu membuat saya merasa bahagia."

Sinta terdiam sejenak, matanya menatap Dimas dengan penuh perhatian. Kemudian, dia meraih tangan Dimas, tersenyum lembut. "Dimas, aku juga merasa hal yang sama."

Keduanya terdiam, merasakan kedamaian di antara mereka. Meskipun perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan, mereka tahu bahwa cinta itu tak mengenal batasan—tak peduli seberapa besar jarak antara mereka.

Dan begitu, cinta antara atasan dan office boy pun mulai berkembang, dengan segala kesederhanaan dan kehangatannya.

Posting Komentar untuk "Di Balik Meja Kerja"