Surat di Bawah Bantal
Di sebuah kota kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, Lila dan Arka tumbuh bersama seperti dua sisi mata uang. Sejak kecil, mereka selalu terlihat bersama—bermain di sungai, bersepeda melewati jalan-jalan berbatu, atau sekadar duduk di bawah pohon rindang sambil berbagi cerita. Persahabatan mereka begitu kuat, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Lila mulai berubah. Dia menyadari bahwa detak jantungnya selalu lebih kencang saat Arka tersenyum atau mendekat. Dia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentangnya—cara Arka mengangkat alisnya ketika bingung, atau bagaimana suaranya selalu menenangkan saat dia sedih. Lila tahu, dia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
Tapi, Lila takut. Takut jika perasaannya akan merusak persahabatan mereka yang sudah terjalin begitu lama. Dia memendam perasaannya, mencoba bersikap normal setiap kali mereka bertemu. Namun, semakin dia berusaha menyembunyikannya, semakin besar keinginannya untuk mengungkapkan isi hatinya.
Suatu malam, setelah berhari-hari memikirkan hal itu, Lila memutuskan untuk menulis surat. Dia duduk di kamarnya, dengan secarik kertas dan pena di tangan. Dia menuliskan setiap perasaannya—bagaimana Arka selalu membuatnya merasa aman, bagaimana dia tak bisa membayangkan hidup tanpanya, dan bagaimana dia berharap suatu hari nanti mereka bisa lebih dari sekadar sahabat. Dengan hati berdebar, Lila menyelipkan surat itu di bawah bantal Arka, berharap dia akan menemukannya.
Keesokan harinya, Arka bangun dengan perasaan aneh. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Saat merapikan tempat tidurnya, dia menemukan surat itu. Matanya melebar saat membaca setiap kata. Jantungnya berdebar kencang, dan senyum kecil muncul di bibirnya. Dia tak pernah menyadari bahwa Lila merasakan hal yang sama.
Arka segera berlari keluar, mencari Lila. Dia tahu di mana biasanya Lila menghabiskan paginya—di taman kecil di ujung jalan, di bawah pohon rindang yang selalu menjadi tempat favorit mereka. Benar saja, dia menemukan Lila sedang duduk di sana, memandangi bunga-bunga yang bermekaran.
"Lila," panggil Arka dengan suara lembut.
Lila menoleh, wajahnya memerah saat melihat Arka berdiri di sana dengan surat di tangannya. Dia merasa dadanya sesak, tak tahu harus berkata apa.
"Aku... aku membacanya," kata Arka sambil duduk di sebelahnya.
Lila menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malu dan takutnya. Tapi Arka mengangkat dagunya dengan lembut, memastikan mata mereka bertemu.
"Aku juga merasakan hal yang sama, Lila. Aku hanya takut untuk mengatakannya," bisik Arka, suaranya hampir tak terdengar.
Lila terkejut. Dia tak pernah menyangka bahwa Arka merasakan hal yang sama. "Benarkah?" tanyanya, suaranya gemetar.
Arka mengangguk, senyum kecil muncul di bibirnya. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih antara kita, tapi aku takut kehilanganmu jika aku mengatakannya."
Mereka duduk dalam keheningan sejenak, hanya mendengar desiran angin yang membawa aroma bunga-bunga di sekitar mereka. Lila merasa lega, seolah beban yang selama ini dia pikul akhirnya terangkat.
"Jadi... apa artinya ini?" tanya Lila, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah.
Arka tersenyum, lalu mengambil tangan Lila dengan lembut. "Artinya, kita bisa mencoba. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Lila. Aku ingin kita bersama, lebih dari sekadar sahabat."
Lila merasa matanya berkaca-kaca. Dia mengangguk, senyum lebar muncul di wajahnya. "Aku juga, Arka. Aku juga."
Di bawah pohon rindang itu, di tengah keheningan kota kecil mereka, dua hati yang lama bersembunyi akhirnya menemukan jalan untuk bersatu. Mereka tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang indah—sebuah kisah cinta yang tumbuh dari persahabatan yang tak tergantikan.
Posting Komentar untuk "Surat di Bawah Bantal"